Penulis: Inggar Saputra
Indonesia mengaku sejak dulu politik bebas aktif. Negara kita bersahabat dengan Rusia. Ukraina juga sahabat kita. Ketika keduanya sedang bertengkar sekarang. Tadinya cukup tepat kita memilih kata netral. Sebab politik luar negeri Indonesia itu, bebas dan aktif. Bebas artinya tak boleh ada intervensi negara manapun. Aktif itu tidak berpihak kecuali kepada kedamaian dan kebenaran. Kita bangsa damai, dan suka dengan uang damai. Jika ada kata damai, semua jadi tenang. Urusan sulit sekalipun bisa jadi beres. Maka kata-kata sakti di negeri ini. Indahnya hidup damai.
Tapi sekarang sepertinya situasinya berbeda. Kita seperti ikutan terjebak perang. Dalam sidang PBB, Indonesia ikutan mengutuk Rusia. Katanya serangan Rusia ke Ukraina itu salah. Tiba-tiba kita jadi juri, penilai di lapangan. Bangsa Indonesia ikutan dengan negara lain. Ikutan pula tercebur dalam perang. Dengan berpihak kepada Ukraina, Indonesia masuk zona pertempuran. Ini aneh, tapi nyata. Alih-alih jadi sahabat keduanya. Ketika sahabat bertengkar, kita malah berpihak. Bukan melerai atau menjadi mediator damai. Indonesia malah berpihak ke salah satu pihak yang bertengkar. Jadilah bangsa Indonesia juri, bukan juru damai.
Ini tentu sangat disayangkan. Dimanapun yang berpihak kepada dua orang bertengkar. Kita akan kehilangan salah satu sahabat. Padahal tadinya kita menaruh harapan. Pemerintah Indonesia bisa mengambil peran aktif. Ikutan jadi mediator yang mendamaikan dua negeri itu. Bukan sibuk mengutuk sana sini. Tidak sibuk ikutan koor suara negara pendukung Ukraina. Sedih memang kita kehilangan salah satu sahabat. Karena kita memilih sahabat yang lain. Entah apa sebabnya. Mungkin surat Dubes sahabat tetangga terlanjur menyentuh hati nurani. Pemimpin kita terketuk hatinya. Apalagi bawa embel-embel cerita dulu Indonesia merdeka.
Melihat Indonesia berpihak. Kita sebagai anak bangsa tentu terkejut. Padahal ada opsi yang lebih baik, Indonesia netral. Sambil sibuk mencari celah mempertemukan wakil Rusia dan Ukraina. Bagaimanapun keduanya akan segan jika Indonesia tampil. Secara akrab, kedua negara itu sahabat Indonesia. Titik tengahnya bukan PBB, apalagi Amerika Serikat. Kuncinya justru Indonesia. Jika keduanya mau bertemu. Kemudian bisa sepakat berdamai. Barangkali perang akan berhenti. Ingatkan saja, Indonesia bangsa suka damai. Senang punya banyak sahabat. Jika sahabatnya bertengkar, harusnya Indonesia ikutan sedih. Sambil mikir bagaimana mendamaikan keduanya. Tidak sibuk memihak salah satunya. Alih-alih berdamai, berpihak hanya akan mencari musuh.
Tapi nasi menjadi bubur. Tinggal mengemas bubur jadi pedas atau manis. Kecapnya di Indonesia, Sausnya di Indonesia. Masih ada waktu bertemu dua sahabat itu. Sambil minum kopi. Ajaklah wakil Rusia dan Ukraina ke warkop. Kopi dan semangkuk mie. Bisa jadi penghangat hubungan keduanya. Tambah sedikit es jeruk. Biar suasana cair. Jika sudah cair. Cari titik temu. Rasanya sudah seringkali kita tampil jadi penengah. Saatnya peran itu kita ambil kembali. Sekarang juga. Jangan tunda besok hari. Semoga dunia segera berdamai. Tak usah sibuk siapa benar salah. Rusia dan Ukraina sahabat Indonesia. Sebagai sahabat, tugas kita mengajak mereka yang bertengkar. Mendinginkan kepala, hati dan pikiran. Agar tetap jadi sahabat. Jika masih bertengkat, ingatkan saja. Mencari sahabat sajalah kita. Jangan sibuk mencari musuh. Salam damai. Slank bilang “Piss”