Jurnalpublik.id-Jakarta, Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA-KAMMI) mengadakan diskusi webinar di sekretariat KA-KAMMI, Jakarta. Diharapkan dari diskusi ini bisa terbaca penyebab terjadinya aksi terbatas Rusia terhadap Ukraina dan bagaimana seharusnya sikap dan posisi Indonesia.
“Kita tahu Rusia dan Ukraina memiliki satu akar sejarah yang sama dan saling berkaitan di masa lalunya. Diskusi ini ingin membaca mengapa terjadi perang Rusia-Ukraina dalam konteks geopolitik global dan bagaimana seharusnya sikap dan posisi politik Indonesia,“ jelas Ketua Keluarga Alumni KAMMI, Rahman Toha atau biasa disapa Amang, di sekretariat KA KAMMI, Kamis, 10 Maret 2022.
“Sebagai negara yang menerapkan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia tidak boleh terjebak konflik, sebab kedua negara tersebut adalah sahabat Indonesia dalam diplomasi internasional. Sebaiknya Indonesia menjadi juru damai, menolak adanya perang atas nama kemanusiaan dan mendesak kedua negara mengadakan perundingan damai” tegas Amang.
Pakar geopolitik global, Hendrajit, dalam kesempatan yang sama menjelaskan membaca arah politik Ukraina dan Rusia harus memahami dalam konteks apa AS dan negara Barat memainkan politik internasionalnya. Menurutnya, Ukraina dalam peta politik global berfungsi sebagai buffer state yang akan membuka pintu masuk negara Barat dalam kolonialisasi modern terhadap negara-negara eks Soviet.
“AS dan sekutunya menempatkan Ukraina sebagai negara proxy mereka. Ini dibaca Rusia sebagai ancaman dalam konteks pertahanan militer negaranya sehingga memicu aksi terbatasnya terhadap Ukraina. Indonesia seharusnya mengambil posisi dan peran penting sebagai juru damai sebagai bentuk nyata politik luar negeri bebas aktif, “ terang Hendrajit.
Aktivis Global Future Institute ini menambahkan, sikap Indonesia di PBB yang mengecam Rusia itu adalah langkah yang tidak bijaksana. Menurutnya Indonesia sebenarnya berpeluang sebagai penengah dari konflik ini dengan menggalang dukungan negara Asia Afrika agar konflik segera berhenti.
“Indonesia harus mengambil pelajaran dari krisis ini, bahwa betapa bahaya jadi proksi negara asing. Betapa sangat membahayakan jika sebuah negara tidak menyadari lokasi geografisnya menjadi asset politik perebutan negara adikuasa” tutup Hendrajit.