Yogyakarta, Jurnalpublik.com – Secara sederhana dalam teori ekonomi, konsumsi masyarakat yang tinggi akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski konsumsi bisa memacu pertumbuhan ekonomi, namun Islam mengaturnya sedemikian rupa. Bulan Ramadan mestinya melatih kita agar tidak israf (berlebih-lebihan) dalam konsumsi.
Dalam teori ekonomi konvensional, mengapa ada konsumsi? Karena manusia (konsumen) diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang.
Dalam teori ekonomi konvensional, konsumen selalu menginginkan tingkat kepuasan yang tertinggi. Teori seperti tidak dapat diterima begitu saja dalam ekonomi Islam. Di antara ajaran yang penting berkaitan dengan konsumsi, misalnya perlu memperhatikan orang lain. Dalam hadits disampaikan bahwa setiap muslim wajib membagi, makanan yang dimasaknya kepada tetangganya yang merasakan bau dari makanan tersebut.
Dalam ekonomi Islam, diharamkan bagi seorang Muslim hidup dalam serba kelebihan sementara ada tetangganya yang menderita kelaparan. Hal lain adalah tujuan konsumsi itu sendiri, di mana seorang muslim akan lebih mempertimbakan maslahah daripada utilitas. Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam (Maqashid Syariah) yang tentu saja harus menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi.
Apa itu maslahah?
Dalam Kitab al-Muwafaqot, Syatibi menyatakan: “Setiap prinsip hukum Islam (maslahah) yang tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, dan ia sejalan dengan Tindakan syara’, maknanya diambil dari dalil-dalil syara’ maka maslahat itu benar, dapat dijadikan landasan hukum Islam dan dijadikan tempat Kembali. Demikian apabila prinsip tersebut (maslahat) berstatus pasti berdasarkan kumpulan dalil-dalil syara’. Sebab dalil tidak harus menunjukkan hukum yang pasti secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan yang lain.
Termasuk ke dalam hal ini adalah istidhal mursal (maslahah mursalah) yang dibenarkan oleh Malik dan Syafi’i. Sekalipun kasus cabang itu tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu, namun telah didukung dalil kulli apabila bersifat pasti, kuatnya sama dengan satu dalil tertentu.
Syatibi menegaskan lagi, terkait maslahah adalah sebagai berikut: “Yang saya maksud dengan maslahah adalah apa-apa yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan pemerolehan apa apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.”
Ahli ushul fiqh menamakan maslahah sebagai tujuan Allah selaku Pencipta syariat (qashd al-Syari). Jadi secara teologis, pakar ushul fiqh menerima paham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam setiap perbuatan-Nya.
Maslahah dalam Konsumsi
Itulah indahnya Islam, meski kita dituntut untuk melakukan konsumsi (belanja) namun Islam mengaturnya agar konsumsi selalu didasarkan pada konsep maslahah dalam Islam. Selain didasarkan dengan konsep maslahah, Islam juga mengajarkan agar orang-orang yang berkelebihan harta untuk zakat dan mensedekahkan hartanya untuk membantu orang-orang yang tidak mampu (miskin).
Surat Adz-Dzariyat 19-20, Allah SWT menyebutkan sifat sifat orang yang bertakwa, di antaranya adalah orang-orang yang meyakini bahwa ada hak para dhuafa dalam setiap harta yang mereka miliki. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS. Ad-Dzariyat: 19-20).
Sebagai penutup, maka ramadan mestinya mengajarkan kita agar konsumsi tidak berlebih-lebihan. Dalam surat Al-A’raf ayat 31 disebutkan: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” Jika sudah berlebihan, maka harta kita patut dishare ke yang membutuhkan (miskin) agar tetap memacu konsumsi, tapi untuk yang lain. Allahua’lam.[]
Edo Segara Gustanto/Dosen FEBI IIQ An Nur Yogyakarta