Yogyakarta, Jurnalpublik.com – Rabu (13/7/2022), jurnalis Jurnalpublik.id berkesempatan untuk mewawancarai April Purwanto, S.Ag., M.EI., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Institut Ilmu al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta, yang sudah malang melintang dalam dunia perzakatan dan filantropi Islam. Berikut wawancara dengan April Purwanto, terkait fenomena penyalahgunaan dana kemanusiaan dan zakat yang sedang ramai saat ini.

Sebenarnya, apa perbedaan lembaga filantropi dengan lembaga zakat? 

Filantropi dari segi bahasa adalah kedermawanan, sedangkan kemanusiaan istilah dari bahasa Indonesia. Kemanusiaan dalam Islam diwujudkan dalam zakat, wakaf, sedekah, dsb. Dalam dunia barat, kemanusiaan identik dengan charity. Namun charity sekarang familiar dengan filantropi. Lembaga filantropi di bawah pengawasan Kementrian Sosial dan Lembaga Zakat di bawah pengawasan Kemenag dan BAZNAS. Intinya filantropi Islam itu untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat miskin. Tujuan dari filantropi Islam untuk meningkatkan kesejahteraan.

Sebenarnya Lembaga Zakat, kalau secara syariat kan harusnya menjadi wewenang Pemerintah. Bagaimana menurut Anda?

Di Indonesia pada tahun 1968, ada usulan dari Menteri Agama saat itu, H. Alamsyah Ratu Perwiranegara pada saat itu mengusulkan adanya badan zakat/lembaga zakat. Soeharto pada saat itu kemudian berfikir, kalau masyarakat Muslim mandiri secara ekonomi/finansial khawatir secara politis akan mempengaruhi kekuasaannya. Akhirnya, Pak Soeharto membuat yayasan sendiri yakni Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Pada saat itu ia membangun masjid masjid, dan memberi beasiswa super semar, dll. Saat itu sumbernya dari gaji-gaji ASN/PNS. Jadi sudah lama ada inisitif itu. Sekarang juga sudah ada BAZNAS. BAZNAS dan LAZ bisa berdampingan bersama dan saling kordinasi.

Ada desakan ACT yang sedang ramai dibicarakan agar dibubarkan, bagaimana menurut Anda?

Menurut saya harusnya jangan dibubarkan. Tapi mendorong semua lembaga yang berwenang mengawasi lembaga Filantropi untuk duduk bersama (mengatur/membuat) aturan main terkait gaji/pendapatan, agar masyarakat juga tidak tercederai perasaannya karena tahu gajinya besar. Meski ada aturan boleh mengambil operasional 10%, lembaga filantropi harus memperhatikan perasaan masyarakat.

Menurut laporan salah satu media, ternyata ACT banyak program yang tidak tuntas. Bagaimana menurut Anda?

Hampir semua lembaga mungkin tidak tuntas jika menyelesaikan sebuah program. Karena masing-masing lembaga filantropi/zakat, programnya cukup banyak. Makanya program itu harus dipetakan. Perlu diprioritaskan juga untuk menuntaskan pengentasan kemiskinan, di daerah mana yang banyak penduduk miskinnya. Jangan semua wilayah diambil. Ada prioritas, monitoring dan evaluasi. Setelah diberi bantuan apakah kesejahteraannya (produktivitas, manajerial, keagaamaan) meningkat? Ini harus dipantau dan dipastikan.

Apakah pegawai/volunteer sebuah filantropi Islam harus identik dengan gaji yang kecil?

Dahulu banyak yang gak mau menjadi pegawai lembaga zakat atau filantropi Islam karena pendapatannya sedikit. Namun seperti yang tadi saya sampaikan, untuk gaji dan bayaran untuk pegawai di bidang kemanusiaan tetap memperhatikan perasaan masyarakat terutama pendonor.

Bagaimana terkait transparansi lembaga filantropi? Mengapa tidak semua lembaga mempublikasikan keuangannya?

Sebenarnya itu sebuah keharusan, karena sesuai aturan/undang-undang. Hanya saja, mereka melaporkan publikasi melalui buletin/media mereka sendiri. Saya setuju jika lembaga-lembaga zakat dan filantropi ini harus melaporkan keuangannya, minimal di media online. Tapi ini juga harus memperhatikan kemampuan finansial lembaganya, karena tidak semua lembaga mampu secara keuangan mempublikasikan keuangannya.

Tentang pengelola lembaga filantropi atau zakat, setuju tidak jika pengelolanya harus punya kemampuan social intelegent. Kesadaran bahwa amanah pengelola zakat ini berat, karena mengelola dana umat. Antara surga dan neraka?

Saya setuju. Sebenarnya dari dulu, seperti Dompet Dhuafa (DD) sudah ada namanya Institut Manajemen Zakat (IMZ). Kemudian menjadi Indonesia Magnification of Zakat. Ini merupakan lembaga yang dibentuk DD dalam rangka meningkatkan kemampuan amil dalam mengelola zakat. Jadi sebenarnya sudah ada upaya dari lembaga zakat untuk mengantisipasi seperti kejadian (fraud) hari-hari ini.

Kalau di perbankan pengawasnya ada OJK, di lembaga zakat ada BAZNAS, sementara di lembaga kemanusiaan ada Kementerian Sosial. Bagaimana optimalisasi lembaga-lembaga ini? Mengapa masih ada kejadian seperti kasus ACT?

Saat munas Forum Zakat di Surabaya tahun 2009, sudah membicarakan kode etik amil. Saat itu belum ada Undang Undang (UU) Zakat No. 23 tahun 2011. Ketika muncul UU tersebut, lembaga-lembaga zakat akhirnya ada di bawah BAZNAS. Kode etik amil ini perlu dibaca lagi dan menjadi renungan bagi pengelola filantropi dan zakat. Agar amil/pengelola filantropi lebih bertanggung jawab dan menjadikan ibadah dalam setiap tugasnya.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here