Jakarta, Jurnalpublik.com – HAMPIR 40 tahun perjalanan Prof. Dr. Azyumardi Azra (Prof. Azra) menekuni karirnya dalam bingkai aktivisme dan intelektualisme secara bersamaan. Beliau sendiri lahir pada 4 Maret 1955 di Padang Pariaman, Sumatra Barat. Kelak merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah (belakangan menjadi UIN) hingga ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan master dan doktoralnya. Seingat saya, beliau berproses sejak menjadi aktivis mahasiswa (terutama Himpunan Mahasiswa Islam HMI era 1980-an) hingga kelak jadi peneliti, penulis, dan rektor di samping menjadi sosok cendekiawan yang cukup punya panggung di negeri ini. Termasuk ketika menjabat berbagai jabatan di berbagai institusi, tepatnya lembaga bentukan dan atau non pemerintah.
Kelak, dalam sekian tahun beliau kerap dirujuk dan sekali lagi benar-benar punya panggung di negeri ini. Bahkan beliau kerap diundang untuk berbagai forum di luar negeri. Membahas banyak tema, terutama yang berkaitan dengan Islam dan peradabannya. Pemikiran dan karya ilmiahnya juga dirujuk berbagai kalangan, itu fakta. Gagasan beliau terkait isu tertentu dirujuk, atau paling tidak didengar oleh sebagian kalangan yang membutuhkan gagasan segar. Suka atau tidak sukanya sebagian masyarakat terhadap gagasan dan sikap beliau untuk sebagian isu, itu soal lain.
Tentu tidak seketika jadi, butuh proses panjang untuk mencapai posisi semacam itu. Bukan setahun tapi belasan bahkan puluhan tahun. Medannya tidak satu, tapi banyak, yang tentu penuh pergulatan. Mengenai pemikirannya bisa kita baca di berbagai tulisannya seperti buku, artikel, makalah dan serupanya. Mungkin tradisi pendalaman atas isu tertentu bukan saja dibentuk sejak beliau di HMI dan kultur akademik perguruan tinggi dimana beliau berkarir selama ini, tapi juga adanya panggilan jiwa untuk menjadi sosok yang berbeda dari perantau sekaligus cendekiawan yang biasa-biasa saja.
Nah, bagaimana membayangkan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sejak di KAMMI sudah jadi rujukan, misalnya, dirujuk oleh kalangan media massa seperti TV, Radio, dan Surat Kabar. Termasuk dirujuk oleh media online yang belakangan menjamur. Di samping itu, bisa juga menjadi tempat bertanya masyarakat. Atau minimal menjadi rujukan untuk isu tertentu oleh sesama gerakan mahasiswa. Hal ini pasti berdampak positif ketika kelak tidak di KAMMI lagi atau ketika pasca KAMMI. Mungkin bisa menjadi rujukan masyarakat luas seperti yang dilakoni oleh Prof. Azra yang HMI dan Muhammadiyah itu.
Praktisnya, misalnya, ketika ada isu berkaitan dengan ekonomi ada alumni KAMMI yang dirujuk pendapatnya. Pendapatnya pun bisa didengar oleh masyarakat luas. Media massa mengutip argumentasinya tentang tidak pantasnya pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM, misalnya. Bahkan buku karyanya seputar pembangunan ekonomi dikutip oleh mahasiswa di perguruan tinggi ketika menyelesaikan karya ilmiah beragam jenis. Begitu juga untuk isu atau tema pendidikan, politik, kepemimpinan, kesehatan, budaya, pertahanan, keagamaan, pemikiran, dinamika global dan sebagainya.
Selama ini, harus diakui sangat sulit menemukan pemikiran dan karya ilmiah alumni KAMMI yang bisa dirujuk. Saya mohon maaf bila terlalu berani dan terkesan angkuh menyampaikan ini. Bisa jadi saya salah karena kurang referensi bacaan atau kurang gaul dengan alumni KAMMI. Sederhana saja, katakanlah seorang mahasiswa di perguruan tinggi tertentu hendak menyusun karya ilmiah seperti skripsi atau tesis. Ia ingin sekali merujuk ke karya ilmiah alumni KAMMI, baik buku maupun jurnal, sebagai salah satu rujukan landasan teorinya. Pertanyaannya, bagaimana mengutip teori keilmuan alumni KAMMI bila tak ada dokumennya? Wawancara tentang masalah terbaru mungkin bisa, tapi publikasinya terbatas dan tidak bisa diakses masyarakat luas, selain kadarnya juga sekadar respon spontan yang cenderung susah dikutip.
Saya sendiri jadi terpaksa bertanya pada diri saya sendiri: Bagaimana caranya agar saya memiliki gagasan yang bergizi dan menarik di tengah tumbuh suburnya sumber informasi tentang berbagai mata ilmu pengetahuan belakangan ini? Bila kelak saya memilikinya, bagaimana caranya agar ia bisa dirujuk masyarakat luas bahkan bermanfaat luas bagi banyak orang bila saya enggan melakukan publikasi? Bila saya terjebak pada alasan ini: “sekarang bisa dipublikasi di media online”, pertanyaannya: memang saya suka menulis dan aktif melakukan publikasi karya ilmiah di media online?
Pertanyaan semacam itu nyaris susah ditemukan jawabannya. Ya, saya sendiri sulit menjawabnya. Sebab mendasarnya adalah konsentrasi akademik yang bias alias tidak fokus. Semua hal mau digarap. Selesai memang, cuma sekadar berujung jadi kertas bahwa saya sudah sarjana ini dan master itu, bahkan kelak doktor anu. Tak ada dokumen yang bisa diakses banyak orang perihal keahlian saya. Begitu juga perihal menjadi rujukan dalam banyak hal tadi. Saya cemburu saja dengan alumni sekaligus senior HMI, Prof. Azra, yang baru saja meninggal, tepatnya pada Ahad 18 September 2022 lalu. Ya beliau walaupun beliau menikmati kehidupan dunia hanya selama 67 tahun, namun beliau mewarisi hal jenial: pernyataannya didengar, sikapnya dirujuk dan narasi keilmuannya dikutip.
Lalu, bagaimana dengan saya yang begini-begini saja? Jangan kan didengar, dirujuk dan dikutip, dengan ungkapan “Memang Anda siapa dan punya apa?” saja saya sudah mati langkah. Kalau saja kelak saya memiliki tradisi yang memungkinkan untuk menggapai level tradisi Prof. Azra yang konon aktif membaca berbagai buku, jurnal dan serupanya di samping aktif menulis buku, jurnal dan serupanya, lalu aktif melakukan penelitian ilmiah; apakah saya bisa menggapai level: didengar, dirujuk dan dikutip semacam itu? Sembari menjawab dalam hati, seingat saya menurut seorang temannya teman saya, “pertanyaan ini benar-benar plastik kresek: brisik alias ramai tapi tak berisi”. Bahkan menurut saya, malah lebih dari itu: Kentut! (*)
Syamsudin Kadir/Penulis, Tinggal di Cirebon